Buletin At Tauhid Edisi 16 Tahun X
Semua kita sudah mengetahui bahwa Al Qur’an dan Al Hadits adalah pedoman hidup semua manusia. Namun mengapa ketika kita temukan dua orang yang mengaku berpedoman pada Al Qur’an dan Hadits, mereka saling berbeda keyakinan dan masing-masing mengklaim kebenaran pada dirinya? Ini menunjukkan Al Qur’an dan sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ternyata dapat ditafsirkan secara beragam dan dipahami berbeda-beda oleh masing-masing individu. Jika demikian maka pertanyaannya adalah, siapakah sebetulnya di dunia ini yang paling memahami Al Qur’an serta sabda-sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam? Jawabnya, merekalah orang-orang yang hidup di masa Nabi dan orang-orang yang hidupnya dekat dengan masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Merekalah yang disebut generasi salaf.
 Makna Salaf
Salaf secara bahasa artinya ‘setiap amalan shalih yang telah lalu; segala sesuatu yang terdahulu; setiap orang yang telah mendahuluimu, yaitu nenek moyang atau kerabat’ (Al Qamus Al Muhith, Fairuz Abadi). Secara istilah, yang dimaksud salaf adalah 3 generasi awal umat Islam yang merupakan generasi terbaik, yaitu para sahabat Nabi, para tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Syaikh Al Albani menyatakan, “As Salaf adalah umat 3 generasi awal umat Islam yang telah mempersaksikan (risalah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan kebaikan. Dalam hadits shahih yang mutawatir yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik umat adalah generasiku, kemudian setelahnya, kemudian setelahnya’”. (dalam Silsilah Huda Wan Nuur). Oleh karena itu mereka disebut generasi As Salafus Shalih.
 Kebenaran Pemahaman Generasi Salaf
Tidak ada yang meragukan bahwa merekalah orang-orang yang paling memahami Islam yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam. Para sahabat menyaksikan wahyu turun dan menjadi saksi bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengamalkannya. Para tabi’in pun mendapat ilmu langsung dari para sahabat. Demikian juga para tabi’ut tabi’in yang meneladani mereka dengan baik.
Seorang sahabat yang mulia, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu berkata, “Allah Ta’ala memperhatikan hati-hati hambanya, lalu Ia memilih Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengutusnya dengan risalah. Lalu Allah Ta’ala memperhatikan hati-hati manusia, lalu Ia memilih para sahabat Nabi, kemudian menjadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya dan pembela agama-Nya. Maka segala sesuatu yang dipandang baik oleh kaum mu’minin -yaitu Rasulullah dan para sahabatnya-, itulah yang baik di sisi Allah. Maka segala sesuatu yang dipandang buruk oleh kaum mu’minin, itulah yang buruk di sisi Allah” (HR. Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir no. 8504).
Maka bila kita ingin memahami Islam dengan benar, tentunya kita merujuk pada pemahaman orang-orang yang ada pada 3 generasi tersebut., “Siapa saja yang mencari teladan, teladanilah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena merekalah orang yang paling baik hatinya diantara umat ini, paling mendalam ilmu agamanya, umat yang paling sedikit dalam berlebihan-lebihan, paling lurus bimbingannya, paling baik keadaannya. Allah telah memilih mereka untuk mendampingi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menegakkan agama-Nya. Kenalilah keutamaan mereka, dan ikutilah jalan mereka. Karena mereka semua berada pada shiratal mustaqim (jalan yang lurus)” (Tafsir Al Qurthubi, 1/60).
 Mengapa Perlu Mengikuti Pemahaman Salaf?
Syaikh Umar Bazmul menyatakan, “Wahai kaum muslimin, sesungguhnya kita tidak bisa selamat dan tidak bisa sukses dalam menjalani agama dan menggapai tujuan yang hakiki, kecuali dengan mengikuti praktek beragamanya para salafus shalih. Oleh karena itu, Imam Ahmad bin Hambal berkata kepada muridnya Al Maimuni, “Jangan engkau membuat statement yang tidak ada imam (pendahulu) nya (yang mengatakannya)”. Maka, anda harus bersungguh-sungguh mengikuti para salafus shalih dalam setiap masalah yang anda bicarakan, jangan berpendapat dengan pendapat yang sama sekali tidak ada dalam pendapat mereka”. (dalam ceramah beliau berjudul Ittiba Fahmis Salafis Shalih).
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali” (QS. An Nisa : 115)
Kaum mu’minin yang dimaksud oleh ayat ini adalah para sahabat Nabi. Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali menjelaskan ayat ini, “Dengan ayat ini jelaslah bahwa mengikuti jalan kaum mu’minin adalah jalan keselamatan. Dan ayat ini dalil bahwa pemahaman para sahabat mengenai agama Islam adalah hujjah terhadap pemahaman yang lain. Orang yang mengambil pemahaman selain pemahaman para sahabat, berarti ia telah mengalami penyimpangan, menapaki jalan yang sempit lagi menyengsarakan, dan cukup baginya neraka Jahannam yang merupakan seburuk-buruk tempat tinggal.” (Limaadza Ikhtartu Al Manhaj As Salafi Faqath karya Syaikh Salim bin ‘Id Al Hilali).
Setiap hari kita membaca ayat <<Ihdinas shiraathal mustaqiim, shiraathalladziina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhuubi ‘alaihim waladhdhaallin>> (Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.)” (QS. Al Fatihah : 6-7).
Ibnu Katsir menjelaskan, “Yang dimaksud dengan ‘orang-orang yang telah Engkau beri nikmat‘ adalah yang disebutkan dalam surat An Nisa, ketika Allah berfirman (yang artinya), “Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: para nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/140).
Seorang ahli tafsir dari kalangan tabi’ut tabi’in, ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, menafsirkan bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya (Tafsir At Thabari, 1/179).
Maka, shiratal mustaqim atau jalan yang lurus adalah cara beragama yang dipraktekkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka, merekalah generasi salafus shalih.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah mewasiatkan umatnya untuk mengikuti pemahaman para sahabat beliau dalam beragama dalam sabda beliau, “Bani Israil akan berpecah menjadi 74 golongan, dan umatku akan berpecah menjadi 73 golongan. Semuanya di nereka, kecuali satu golongan”. Para sahabat bertanya: “Siapakah yang satu golongan itu, ya Rasulullah?”. “Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku” (HR. Tirmidzi no. 2641, Al ‘Iraqi berkata, “sanadnya jayyid”).
Demikianlah, untuk memahami agama Islam dengan benar maka tidak ada cara lain melainkan dengan memahaminya sesuai pemahaman generasi salaf. Untuk melakukan hal ini tentu butuh menuntut ilmu. Dalam memahami Al Qur’an dan hadits perlu dilihat bagaimana perkataan sahabat Nabi yang menjelaskannya, bagaimana penjelasan para tabi’in serta para ulama ahlus sunnah yang mengikuti pemahaman mereka sehingga didapatkanlah pemahaman yang benar.
 Jika Para Salaf Berselisih Pendapat
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Jika ada orang yang bertanya, ‘Wahai Imam Syafi’i, aku dengar engkau mengatakan bahwa setelah Al Qur’an dan Sunnah, ijma dan qiyas juga merupakan dalil. Lalu bagaimana dengan perkataan para sahabat Nabi jika mereka berbeda pendapat?’ ”. Imam Asy Syafi’i berkata, “Bimbingan saya dalam menyikapi perbedaan pendapat di antara para sahabat adalah dengan mengikuti pendapat yang paling sesuai dengan Al Qur’an atau Sunnah atau Ijma’ atau Qiyas yang paling shahih” (Ar Risalah, 1/597).
Syaikh Umar Bazmul memberikan penjelasan dan contoh lebih jelas lagi, “Dalam ilmu ushul fiqih, para ulama ushul fiqih menyatakan ketika para sahabat atau para salaf berselisih pendapat dalam suatu masalah dalam memahami ayat atau hadits menjadi beberapa pendapat. maka tidak boleh keluar dari pendapat mereka. Oleh karena itu Ibnu Qutaibah ketika menafsirkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (dalam masalah rukyah hilal), “jika mendung, maka perkirakanlah“, Ibnu Qutaibah memaknai “perkirakanlah” di sini yaitu perkirakanlah menurut perhitungan ahli falak. Maka Ibnu Abdil Barr membantah Ibnu Qutaibah dengan berkata: “membantah Ibnu Qutaibah ini, cukup dengan mengatakan bahwa pendapatnya itu tidak pernah dikatakan para salaf (sehingga pendapatnya tersebut salah, pent.)” (dalam ceramah Ittiba Fahmis Salafis Shalih).
 Mengikuti Jejak Salaf Dalam Masalah Kontemporer
Lalu bagaimana dengan memahami masalah-masalah kontemporer yang baru terjadi di masa sekarang dengan pemahaman salafus shalih? Syaikh Umar Bazmul menyatakan, “Wajib memahami suatu masalah dengan pemahaman para salaf pada masalah yang mereka perselisihkan, maka jangan keluar dari pendapat mereka dan pada masalah yang belum pernah mereka bahas, maka cara istidlal (pendalilan) dan istinbath (pengambilan hukum)-nya tidak boleh keluar dari metode mereka, maksudnya kaidah-kaidah yang dibangun para salaf dalam hal fiqih dan istinbath. Maka hendaknya dibangun di atas kaidah-kaidah mereka” (dalam ceramah Ittiba Fahmis Salafis Shalih).
Semoga yang sedikit ini bisa bermanfaat. Semoga Allah senantiasa menunjukkan kita jalan yang lurus, yaitu jalan yang ditempuh oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para sahabatnya.
Penulis : Ustadz Yulian Purnama, S.Kom